“MIXED USE DEVELOPMENT SEBAGAI REPRESENTASI PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE CITY)”

Oleh: Zeji Mandala_Master in Urban and Regional Planning_ Universitas Gadjah Mada_Juni 2013

I.     LATAR BELAKANG

Pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan sebagai kota kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutannya, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka. Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang dalam konteks pembangunan.

`        Jenks dkk (1996) mengungkapkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah “Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi social” (Elkin et.al., 1991, p.12). Namun demikian, dalam kota kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan “urban containment” yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan.

Perkembangan suatu wilayah ataupun kota-kota di Indonesia semakin menunjukan keberadaannya, hal tersebut di dukung oleh kondusifnya situasi ekonomi dalam negeri serta situasi politik yang terbilang stabil. Perkembangan yang terjadi dibeberapa wilayah dan kota di Indonesia di dorong pula oleh perkembangan infrastruktur yang ada di lokasi tersebut yang mendorong pertumbuhan di sektor properti.

Permasalahan yang kerap terjadi saat ini dan kedepan khususnya bagi wilayah perkotaan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang semakin bertambah. Korelasi yang terjadi adalah semakin besar pertambahan penduduk di wilayah perkotaan maka kebutuhan penduduk pun juga akan semakin meningkat. Sebagai contoh kebutuhan akan hunian, dari situ pula kebutuhan pendudukung bagi masyarakat perkotaan juga semakin bertambah seperti keberadaan pusat perbelanjaan serta perkantoran. Sekarang dan kedepan kebutuhan di sektor ini harus diperhatikan lagi karena keterbatasan lahan yang ada khususnya diperkotaan. Keterbatasan lahan yang ada suatu wilayah khususnya perkotaan haruslah dicermati kembali oleh para perencana serta pengembang karena nantinya akan menjadi masalah serius di tingkat manajemen perkotaan karena magnet dari pengembangan perkotaan akan semakin besar bagi kalangan pengembangan properti maupun investor. Salah satu solusi untuk mengoptimalkan produk properti dalam suatu lokasi lahan adalah dengan  menerapkan konsep pengembangan Mixed-Use. Konsep ini, sebenarnya bukan konsep baru di beberapa negara seperti di Amerika dan beberapa negara Eropa juga sudah menerapkan konsep pengembangan yang demikian terutama untuk mengatasi keterbatasan lahan untuk pengembangan produk properti di perkotaan. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengulas mengenai konsep Mixed-Use Development sebagai representasi pembangunan kota berkelanjutan.

II.            TINJAUAN TEORI

2.1  Konsep dan prinsip kota berkelanjutan (Sustainable City)

Beberapa pendapat para ahli (Brutland,1987; Holden dan Ehrlich, 1992; Stren dan Whitney, 1992; Sarageldin dan Steer; 1994 dalam Budihardjo, 2009) tentang pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan secara ringkas dengan batasan pengertian kota berkelanjutan (sustainable city) dapat didefinisikan bahwa “Kota yang dalam perkembangannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya masa kini,mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik, dan pertahanan keamanannya tanpa mengabaikan atau mengurangikemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka” (Budihardjo, E dan Sudjarto, DJ. 2009).

Dalam mewujudkan kota berkelanjutan tentu saja diperlukan beberapa prinsip dasar yang dikenal dengan Panca E yaitu Environment (Ecology), Economy (Employment), Equity, Engagement dan Energy (Research Trianggle Institute,1996 dalam Budihardjo, 2009). Dibawah ini, ilustrasi dari prinsip panca E sebgai berikut:

Prinsip dasar kota berkelanjutan yang dikenal dengan Panca E

Dari 5 prinsip dasar di atas maka dapat digambarkan secara rinci lima kaidah prinsip dasar tersebut dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.1.3 Tabel Prinsip Dasar Kota Berkelanjutan

Aspek

Pendekatan kota yang kurang berkelanjutan

Pendekatan kota yang berkelanjutan

EKONOMI (KESEJAHTERAAN)
Pendekatan Kompetisi,industri besar, retensi bisnis dan ditarget,ekspansi Kerjasama strategis, peningkaan keahlian pekerja, infrastruktur dasar dan informasi
Hubungan antara perkembangan sosial dan ekonomi Kesenjangan yang bertambah,kesempatan kerja terbatas dilihat sebagai tanggung jawab pemerintah Penanaman modal strategis pada tenaga kerja dan kesempaten kerja dilihat sebagai tanggung jawab bersama (pemerintah, swasta dan masyarakat)
EKOLOGI (LINGKUNGAN)
Peraturan penggunaan tanah Penggunaan tertinggi dan terbaik; penggunaan lahan yang tunggal (terpisah), kurang terpadu dengan sistem transportasi, pemekaran kota tanpa kendala Penggunaan lahan campuran, koordinasi dengan sistem transportasi, menciptakan taman,menetapkan batas perkembangan/pemekaran kota
EQUITY (PEMERATAAN)
Disparitas Disparitas yang makin meningkatkan antar kelompok income dan ras Disparitas kurang dan kesempatan yang seimbang
ENGAGEMENT (PERAN SERTA)
Partisipasi rakyat Diminimalkan Dioptimalkan
Kepemimpinan Isolasi dan Fragmentasi Justifikasi jurisdiksi silang
Regional Kompetisi Kerjasama strategis
Peran pemerintah Penyedia jasa, regulator, komando dan pusat kontrol Fasilitator pemberdayaan, Negosiator dan menyaring masukan dari bawah
ENERGI
Sumber energi Pengurasan Penghematan
Sistem Transportasi Mengutamakan kendaraan pribadi yang boros energi Mengutaakan transportasi umum,massal, hemat energi
Alternaif Alternaif energi terbatas Alternaif energi meluas
Bangunan Mmenggunakan pencahayaan dan penghematan artifisial Mendayagunakan pencahayaan da penghematan alami

 Sumber : Research Trianggle Institute,1996 dalam Budihardjo, 2009

            Dari lima kaidah di atas masih terdapat 2 kaidah E yakni etika pembangunan dan estetika kota. Sehingga ke tujuh prinsip dasar tersebut dapat menuntun dalam mengembangkan kota berkelanjutan.

2.2    Konsep Kota Kompak (Compact City)

            Kota kompak menurut Jenks dkk (1996) diartikan sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan dengan usaha perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transportasi publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota. Terdapat enam atribut yang tidak bisa dipisahkan dan semestinya saling mendukung keberadaan kota kompak yaitu:

  1. Sebuah kota yang padat dan mempunyai besaran (skala) ideal untuk mencapai semua penjuru kotanya, tetapi memiliki ketimpangan sosial-ekonomi penduduk yang jelas dan masih sangat tergantung pada kendaraan pribadi, belumlah cukup untuk digolongkan sebagai kota kompak. Sebaliknya, kota dengan sistem transportasi yang maju, dengan ekonomi warga yang tinggi pula, skala kotanya pun ideal, namun pusat kota itu sendiri akan menjadi senyap di malam hari dan hari libur sebab warga kota lebih memilih tinggal di wilayah luarnya, belum bisa digolongkan ke dalam kategori kota kompak pula. Usaha kenaikan kepadatan penduduk dan lingkungan tentunya terkait dengan optimalisasi lahan dan infrastruktur dalam kota. Dengan demikian, usaha ini pun akan mempunyai efek positif untuk melindungi lahan-lahan subur di luar kota. Kenaikan penduduk ini perlu disertai dengan usaha  penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem unit ini. Sistem transportasi umum yang intensif akan membantu dalam menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi manusia ini, selain mendorong berbagai kegiatan kota lebih aktif.
  2. Pertimbangan besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Atribut ini juga sebagai pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk memudahkan pengkoordinasiannya (smart urban management). Sementara itu, adapun target kota kompak yaitu kesejahteraan sosial-ekonomi setiap penduduk kota yang makin meningkat (better quality of life). Aspek sosial   pada  atribut ini  pun  adalah  interaksi  sosial yang harmonis pada semua lapisan masyarakat di tengah kota.
  3. Proses  menuju  sebuah keadaan  yang lebih baik. Atribut ini didasari oleh kenyataan bahwa sebuah kota kompak adalah sebuah target kondisi yang harus dilalui tahunan karena menyangkut perubahan mendasar pada sebuah kota melalui proses panjang penerapan serangkaian kebijakan kota.

            Selanjutnya diperkuat oleh Roychansyah (2006) yang mengungkapkan  bahwa kota kompak didesain dengan tata guna lahan yang heterogen dan menyatu. Idealnya, setiap bagian kota menyediakan aneka fasilitas seperti sarana pendidikan, kesehatan, serta pusat ekonomi yang mudah diakses oleh penduduknya. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi lebih efektif, penggunaan energi fosil untuk mobilitas warga berkurang, dan kerekatan sosial dapat terbangun. Langkah lain menuju kota berkelanjutan juga dapat dimulai dengan dengan melibatkan masyarakat. Setiap kelompok masyarakat di tingkat terkecil, mulai diperkenalkan dengan konsep reduce, reuse, dan recycle sampah.

            Di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Surabaya, usaha pemisahan sampah sudah dilakukan masyarakat secara swadaya. Sanksinya, sampah tidak akan diambil oleh petugas kebersihan jika warga melanggar kesepakatan. Selain itu, pembangunan kota berkelanjutan dicirikan dengan penghematan energi. Bagi kota-kota metropolitan, sarana transportasi massal seperti bus atau kereta merupakan jawaban untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Kota modern yang humanis juga memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda.

2.2 Hubungan konsep kota kompak (compact city) dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Saat ini dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, Kota Kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan. Keberlanjutan pembangunan secara langsung berintegrasi dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Seperti pada gambar di bawah ini:

Hubungan konsep kota kompak  dengan pembangunan berkelanjutan

Diagram di atas menunjukkan bagaimana integrasi dari nilai lingkungan, nilai ekonomi, dan nilai social menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam aplikasi pembangunan berkelanjutan, 3 elemen tersebut harus berjalan simultan. Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain.

Kota kompak ini memang digagas tidak sekadar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks dkk (1996) menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah:

”Harus terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi sosial” (Jenks dkk,1996)

Semetara itu, melalui perencanaan efisiensi penggunaan lahan yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga akan dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp dkk dalam Roychansah, 2006). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton and Hunter dalam Roychansah, 2006).

            Dengan demikian, hubungan yang erat antara bentuk kota kompak dan keberlanjutan (sustainability) tercerminkan dalam konteks:

a.       Pengurangan ketergantungan pada kendaraan bermotor.

b.       Penyediaan infrastruktur dan servis publik yang efisian.

c.        Komunitas yang aktif melalui hunian berkepadatan tingi.

III.     CONTOH PENGEMBANGAN MIXED USE DEVELOPMENT

            Mixed-Use Development adalah suatu pengembangan produk properti yang terdiri dari produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Konsep ini menjawab kebutuhan akan optimalisasi return pada suatu lahan untuk pengembangan produk properti. Di mana disinilah adanya konsep deferensiasi produk serta ada beberapa macam produk yang dapat ditawarkan. Konsep ini juga cukup menjawab permasalahan pengembangan property pada suatu wilayah ataupun perkotaan. Isu-isu permasalahan perkotaan yang kerap muncul dalam hal pengembangan infrastruktur dan properti, yaitu :

  1. Keterbatasan Lahan & Nilai Lahan (Sistem Pertanahan & Harga Patokan)
  2. Keterbatasan Sumber Daya (Alam, Manusia, Buatan)
  3. Peraturan (Pertanahan, Zoning Regulation)
  4. Tata Nilai Perkotaan (Keteraturan dan Ketertiban)
  5. Urbanisasi
  6. Penyediaan Prasarana Dasar (Air, Listrik, rumah)
  7. Jumlah Penduduk Yang Besar

            Dalam pengembangan konsep ini sebetulnya ada hal-hal yang harus menjadi titik fokus bagi para pengembang (developer), karena dengan memperhatikan hal-hal tersebut secara langsung akan membuat Konsep yang dikembangkan tersebut menjadi daya tarik konsumen serta akan menjadi konsep yangsempurna, beberapa hal tersebut antara lain :

1.        Posisi dan lokasi proyek akan menentukan besarnya profit yang akan dihasilkan.

2.        Keberadaan Infrastuktur harus efisien

3.        Adanya akses pedestrian yang ideal antar komponen

4.        Adanya amenities dan attractions yang tidak mungkin pada penggunaan single use.

5.        Menciptakan massing untuk memperoleh maximal interest

6.        Adanya keterkaitan antara bangunan dengan lingkungan.

7.        Adanya Keterkaitan antara proyek sejenis di lingkungan sekitar.

8.        Perhatikan dengan seksama pentahapan konstruksi

9.        Penggunaan bersama fasilitas

10.    Pengelolaan proses perancangan harus efisien dan professional

            Di bawah ini beberapa contoh produk pengembangan mixed use development sebagai berikut:

a.       Rasuna Epicentrum; dengan produknya yang dikembangkan adalah ; apartement, perkantoran, pusat hiburan dan hotel.

Rasuna EpicentrumGambar 3.1 Rasuna Epicentrum

Sumber: http://www.bakrieland.com/images/ gallery/real/Rasuna-Epicentrum-3.jpg

b.      Season City; dengan produknya yang dikembangkan adalah ; apartement, perkantoran dan Pusat Belanja.

 Season City

Gambar 3.2 Season City

Sumber: http://rumahdijual.com/attachments/ jakarta-barat/95267d1335258832-apartemen-season-city-lt-27-season-city2.jpg

c.       Grand Indonesia; dengan produknya yang dikembangkan adalah ; apartement, perkantoran, Pusat Belanja dan Hotel.

Grand IndonesiaGambar 3.3 Grand Indonesia

Sumber: http://1.bp.blogspot.com/ Grand+Indonesia.jpg

d.      Kemang Village; dengan produknya yang dikembangkan adalah ; apartement, Pusat Belanja dan Hotel.

Kemang VilageGambar 3.4 Kemang Vilage

Sumber : http://images 01.olx.co.id/ui/1/05/45/15880045_1.jpg

IV.     PEMBAHASAN/TELAH KRITIS

Dari beberapa contoh properti diatas seperti Rusuna Episentrum,Season City, Grand Indonesia dan Kemang Vilage. Ke-empat property tersebut dikembangkan dengan konsep mixed use yang di dalamnya terdapat apartement, Pusat Belanja dan Hotel. Dengan demikian, ketika menelaah lebih jauh mengkritisi konsep ini maka konsep mixed use memiliki kelebihan dan kekurangan diantaranya:

Tabel 4.1 Kelemahan dan Kelebihan konsep mixed use development

Kelebihan Mixed Use  Development Kekurangan Mixed Use  Development
1.      Pengkonsentrasian kegiatan Penyediaan fasilitas dan infrastruktur kota efisien karena terpusat dalam satu kawasan.2.      Pendistribusian servis dan barang lebih merata kepada masyarakat.

3.      Gaya dan budaya hidup semakin variatif  artinya jiwa medernisasi masyarkat tumbuh.

4.      Vitalitas sosial-ekonomi naik

1.      Kualitas hidup masa depan masih diperdebatkan, karena ragam sosial-budaya masyarakat Indonesia yang pluralis dan belum tenutu  akan menerima konsep ini.2.      Pembangunan berbiaya tinggi jika strategi pembangunan kotanya benar-benar baru.

3.      Adanya pengurangan kualitas kesehatan masyarakat.

4.      Kondisinya lebih memiliki kepadatan yang tinggi atau  “overcrowded”.

5.       Kondisi politik Indonesia yang  belum stabil memberikan kekhawatiran untuk menjadikan konflik antar masyarakat.

Sumber : diilustrasikan dari hasil pemikiran penulis, 2012

Apakah Mixed Use Development  mampu menghadirkan konsep kota kompak sebagai representasi pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota?

            Permasalahan yang terjadi saat ini dan kedepan khususnya bagi wilayah perkotaan Indonesia adalah jumlah penduduk yang semakin bertambah. Hubungan yang terjadi adalah semakin besar pertambahan penduduk di wilayah perkotaan maka kebutuhan penduduk pun juga akan semakin meningkat. Salah satunya adalah kebutuhan akan hunian. Hal ini berdampak akan kebutuhan pendukung bagi masyarakat perkotaanpun semakin bertambah seperti keberadaan pusat perbelanjaan dan perkantoran. Kebutuhan di sektor ini harus diperhatikan lagi karena keterbatasan lahan yang ada khususnya diperkotaan. Salah satu solusi untuk mengoptimalkan produk properti dalam suatu lokasi lahan adalah dengan  menerapkan konsep pengembangan Mixed-Use.

            Dari beberapa hal yang telah dipaparkan jelas kiranya konsep pengembangan ini tepat dalam hal optimalisasi lahan maupun produk properti ditengah keterbatasan lahan. Hal tersebut menjadi solusi pengembangan properti yang cukup relevan untuk saat ini dan masa depan karena semakin besar pertumbuhan manusia maka semakin terbatas lahan yang dapat dibangun. Oleh karena itu, penerapan konsep optimalisasi produk dan lahan harus menjadi dasar pengembangan suatu property atau sering kita sebut Mixed Use Development mencerminkan suatu integritas antar komponen yakni keseimbangan antara soial, ekonomi dan lingkungan (Sustainable Development) yang baik, dengan syarat pengembangannya sesuai dan tepat sasaran serta memperhatakan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, Mixed Use Development  secara tidak langsung mampu menghadirkan konsep kota kompak sebagai representasi pembangunan berkelanjutan, seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini:

Kota kompak sebagai representasi pembangunan berkelanjutan (sustainable city)

Gambar 2. Kota kompak sebagai representasi pembangunan berkelanjutan (sustainable city)

Sumber : diilustrasikan oleh penulis, 2013

V.            KESIMPULAN

            Berkenaan dengan pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan sebagai kota kompak (compact city) tampaknya telah menjadi salah satu solusi paling penting dalam pembangunan perkotaan. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutannya, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka. Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlanjutan lingkungan, sosial, ekonomi untuk generasi yang akan datang.

            Penerapan Pembangunan kota berkelanjutan merupakan konsep integrasi dari nilai lingkungan, nilai ekonomi, dan nilai social untuk menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam aplikasi pembangunan berkelanjutan, 3 elemen tersebut harus berjalan simultan. Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain.

            Sementara itu, mixed-use development merupakan salah satu atribut kota kompak dalam pembangunan kota berkelanjutan yang menitik beratkan pada suatu pengembangan produk properti yang terdiri dari produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Konsep ini menjawab kebutuhan akan optimalisasi ketersediaan pada suatu lahan perkotan yang terbatas. Sebagai contoh  dimana disinilah adanya konsep perbedaan produk serta ada beberapa macam produk yang dapat ditawarkan seperti contoh produk property rusuna episentrum, season city, grand indonesia dan kemang vilage. Ke-empat properti tersebut dikembangkan dengan konsep mixed use yang di dalamnya terdapat apartement, pusat belanja dan hotel. Namun ketika kita telah lebih jauh maka konsep Mixed Use ini memiliki kelebihan dan kekurangan diantaranya: Kelebihan Mixed Use  Development: Penyediaan fasilitas dan infrastruktur kota efisien, pendistribusian servis dan barang lebih merata, gaya dan budaya hidup semakin variatif, vitalitas sosial-ekonomi naik. Adapun  Kekurangan Mixed Use Development: Kualitas hidup masa depan masih diperdebatkan,pembangunan berbiaya tinggi jika strategi pembangunan kotanya benar-benar Baru, adanya pengurangan kualitas kesehatan, kondisinya lebih memiliki kepadatan yang tinggi atau  “overcrowded” dan kondisi politik Indonesia yang  belum stabil memberikan kekhawatiran untuk menjadikan konflik masyarakat.

            Dengan demikian, Implementasi pembangunan tata ruang kota berkelanjutan ini dengan ide utama seperti peruwujudan kota kompak dalam pengembangan Mixed Use terlihat semakin menjadi kebutuhan tak terpisahkan dalam pembangunan kota-kota baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang tetap memperhatikan karakter masing-masing kota itu sendiri dalam pengimplementasiannya. Namun dalam pengimplementasianya atribut mixed use development  memerlukan sebuah penelitian yang lebih lanjut sehingga harapanya mampu meminimalisir dampak negatif yang akan terjadi dalam penerapannya baik di mancanegara maupun di dalam negeri (Indonesia).

 DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, E dan Sudjarto,DJ.(2009). “Kota Berkelanjutann (Sustainable City)”. Bandung: PT.Alumni.

 Jenks, Mike, and Elizabeth Burton, Katie Williams. 1996. The Compact City: A Sustainable   Urban Form?. London: E & FN Spon.

 Roychansyah, M. S., Ishizaka, K., Omi, T. (2003) A Study on New Urbanism: Learning from Japanese Urban Conditions and Its Issues, dalam Proceedings of International

 Ridlomunawir, (2009). Konsep Kota Kompak [online]. Ridlomunawir.wordpress.com. Available from: http://ridlomunawir.wordpress.com/2009/09/01/konsep-kota-kompak/ Diakses tanggal 9 Januari 2012  pukul 07.15 WIB di Yogyakarta.

 Roychansyah, M.S., (2006). Paradigma Kota Kompak [online]. Roychansyah. wordpress,com. Date Diakses tgl 8 Januari 2012  pukul 07.20 WIB di Yogyakarta.

 Roychansyah, M.S. (2005), A Study on Characterizing and Evaluating Cities toward Implementations of Compact City Strategy (Konpakuto Shiti Senryaku no Kanten kara no Toshi Tokusei no Haaku to Hyouka ni Kansuru Kenkyuu), Disertasi Doktor di Universitas Tohoku, Sendai, tidak dipublikasikan.

 Septiana, H., Isu Perencanaan Kota Kompak. [online]. PWK Universitas Brawijya. http://dinaonline.net46.net/Perencanaan%20Kompak.htm Date Diakses tgl 8 Januari 2012  pukul 07.20 WIB di Yogyakarta.

Pos ini dipublikasikan di Tak Berkategori. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar